Rabu, 26 Agustus 2015

Negeri Tanpa Ayah

Jika memiliki anak sudah ngaku-ngaku jadi AYAH, maka sama anehnya dengan orang yang punya bola ngaku-ngaku jadi pemain bola karena sebutan AYAH itu hanya gelar untuk lelaki yg mau dan pandai mengasuh anak bukan sekedar 'membuat' anak.

Jika AYAH mau terlibat mengasuh anak bersama ibu, maka separuh permasalahan negeri ini teratasi. Namun kebanyakan AYAH yang tugasnya cuma ngasih uang, menyamakan dirinya dengan mesin ATM. Didatangi saat anak butuh saja, padahal fungsi seorang AYAH lebih dari itu.

Akibat hilangnya fungsi tarbiyah dari AYAH, maka banyak AYAH yg tidak tahu kapan anak lelakinya pertama kali mimpi basah, Sementara anak dituntut sholat shubuh padahal ia dalam keadaan junub. Sholatnya tidak sah. Dimana tanggung jawab AYAH ?

Jika ada anak durhaka, tentu ada juga AYAH durhaka. Ini istilah dari umar bin khattab r.a AYAH durhaka bukan yg bisa dikutuk jadi batu oleh anaknya. Tetapi AYAH yg menuntut anaknya shalih dan shalihah namun tak memberikan hak anak di masa kecilnya, yaitu hak untuk mendidiknya sebagaimana yang di contohkan oleh Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam

Anehnya kebanyakan AYAH itu ingin didoakan masuk surga oleh anaknya, tapi tak pernah berdoa untuk anaknya, AYAH ingin dimuliakan oleh anaknya tapi tak mau memuliakan anaknya.

Negeri ini hampir kehilangan AYAH. Semua pengajar anak di usia dini diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap fatherless country Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini. Dimana sosok AYAH sang pengajar utama ?

Dunia AYAH saat ini hanyalah Kotak. Yakni koran, televisi dan komputer. AYAH malu untuk mengasuh anak apalagi jika masih bayi. Zaman sekarang banyak anak yg sudah merasa yatim sebelum waktunya sebab AYAH dirasakan tak hadir dalam kehidupannya.
Semangat Qur'an mengenai pengasuhan justru mengedepankan AYAH sebagai tokoh. Kita kenal Lukman, Ibrahim, Ya'qub, Imron. Mereka adalah contoh AYAH yg peduli. Ibnul Qoyyim dalam kitab tuhfatul maudud berkata: Jika terjadi kerusakan pada anak penyebab utamanya adalah AYAH!

Ingatlah! Seorang anak bernasab kepada AYAHnya bukan ibu. Nasab yg merujuk pada anak menunjukkan kepada siapa Allah meminta pertanggungjawaban kelak.

Rasulullah yg mulia sejak kecil ditinggal mati oleh AYAHnya. Tapi nilai-nilai keAYAHan tak pernah hilang didapat dari sosok kakek dan pamannya.

Nabi Ibrahim adalah AYAH yg super sibuk. Jarang pulang. Tapi dia tetap bisa mengasuh anak meski dari jauh. Terbukti 2 anaknya menjadi nabi. Dan Juga Generasi sahabat menjadi generasi gemilang karena AYAH amat terlibat dalam mengasuh anak bersama ibu. Mereka digelari umat terbaik .
Di dalam quran ternyata terdapat 17 dialog pengasuhan. 14 diantaranya yaitu antara AYAH dan anak. Ternyata AYAH lebih banyak disebut dan bukan Ibu, Mari ajak AYAH untuk terlibat dalam pengasuhan baik di rumah, sekolah dan masjid

Karena Harus ada sosok AYAH yg mau jadi guru TK dan TPA. Agar anak kita belajar kisah Umar yg tegas secara benar dan tepat. Bukan ibu yg berkisah tapi AYAH

AYAH pengasuh harus hadir di masjid. Agar anak merasa tentram berlama-lama di dalamnya. Bukan was was atau merasa terancam dengan hardikan yang diberikan oleh orang lain. Jadikan anak terhormat di masjid. Agar ia menjadi generasi masjid. Dan AYAH yang membantunya merasa nyaman di masjid.
Ibu memang madrasah pertama seorang anak. Dan AYAH yang menjadi kepala sekolahnya. AYAH kepala sekolah bertugas menentukan visi pengasuhan bagi anak sekaligus mengevaluasinya. Selain juga membuat nyaman suasana sekolah yakni ibunya

Jika AYAH hanya mengurusi TV rusak, keran hilang, genteng bocor di dalam rumah, ini bukan AYAH 'kepala sekolah' tapi AYAH 'penjaga sekolah'. Ibarat burung yang punya dua sayap. Anak membutuhkan kedua-duanya untuk terbang tinggi ke angkasa. Kedua sayap itu adalah AYAH dan ibunya

Ibu mengasah kepekaan rasa, AYAH memberi makna terhadap logika. Kedua-duanya dibutuhkan oleh anak, Jika ibu tak ada, anak jadi kering cinta. Jika AYAH tak ada, anak tak punya kecerdasan logika kita lihat generasi #4LAY sekarang ini, kebanyakan mereka menjadi begitu karena hilangnya sosok AYAH dalam pendidikan anak tersebut.

AYAH mengajarkan anak menjadi pemimpin yg tegas. Ibu membimbingnya menjadi pemimpin yg peduli. Tegas dan peduli itu sikap utama. Hak anak adalah mendapatkan pengasuh yg lengkap. AYAH terlibat, ibu apalagi

Mari penuhi hak anak untuk melibatkan AYAH dalam pengasuhan. Semoga negeri ini tak lagi kehilangan AYAH


Silahkan share jika berkenan agar makin banyak AYAH yang peduli dengan urusan pengasuhan. Salam bahagia



Oleh Bendri Jaisyurrahman (@ajobendri)

Mendidik Anak Laki-Laki (ustadz Bendri Jaysurrahman)

Bahasan kali ini adalah menggali ilmu tentang mendidik anak laki-laki. Bahasan ini dirasa perlu karena salah satu kerusakan yang terjadi dalam pengasuhan anak oleh orangtua adalah menghilangkan fitrah kelaki-lakian dan fitrah perempuan.


Dari data yang ada di BKKBN yang pernah di release, bahwa  hasil penelitian beberapa tahun lalu oleh Dr. Henny salah seorang konsultan ahli di sana bahwa 70% anak laki-laki usia SD berkarakter kebanci-bancian. Hal itu patut dikhawatirkan, karena secara fisik mereka laki-laki, tetapi psikis dan pemikiran mereka adalah perempuan. Dan sangat mengkhawatirkan kalau ini muncul di tengah-tengah masyarakat kita khususnya kaum-kaum yang dilaknat oleh Allah subhanahu wata’ala. Yaitu orang-orang Al mutasyabihat al mutasyabihina minarrijal (Orang laki-laki yang menyerupai perempuan alias banci)

Itulah yang sangat perlu diperhatikan pendidikan anak laki-laki dan anak perempuan dalam Islam untuk menjaga seksualitas yang benar. Pendidikan seksualitas dalam Islam bukan hanya terkait dengan mengajarkan organ reproduksi  tetapi terkait dengan totalitas kepribadian seseorang. Laki-laki menjadi laki-laki dan perempuan menjadi perempuan. Terkait dengan apa yang ia rasakan, pikirkan, bagaimana cara ia berjalan, itulah sejatinya laki-laki dan sejatinya perempuan. 

Maka Islam membuat patokan bahwa pendidikan seksualitas terkait dengan terpenuhinyatiga hal :
1.     Seksualitas yang benar,
2.     Seksualitas yang sehat
3.     Seksualitas yang lurus.

Seksualitas yang benar, tentu patokannya adalah Syari’ah, yaitu bagaimana perilaku orang laki-laki secara AlQur’an dan Sunnah. Bagaimana mengajarkan anak sesuai dengan kaedah Syari’ah yang tidak boleh kita meniru cara-cara Barat yang diharamkan. Contohnya, cara Barat apabila seorang ayah ingin mengajarkan tentang laki-laki, khususnya tentang organ kemaluan, maka si bapak mengajak  anak laki-lakinya  untuk mandi bersama. Telanjang bersama, lalu ditunjukkan kemaluan, ini namanya ini, fungsinya ini, dst. 

Yang demikian itu sangat bertentangan dengan ajaran dan adab Islam, di mana seorang anak laki-laki yang mumayyis (sudah bisa membedakan antara kanan dan kiri), maka ia sudah punya adab terhadap orangtuanya.  Bahkan seorang anak untuk masuk ke kamar orangtuanya saja harus mengetuk pintu terlebih dahulu. Tidak sembarangan.  Itulah salah satu patokan pendidikan dalam Islam.

Contoh lagi cara Barat, bahwa seorang anak boleh bermain sebebas-bebasnya, misalnya seorang anak bermain di kamar mandi, mengubak-ubak air di WC, tidak apa-apa.  Sementara dalam Islam yang demikian itu tidak boleh, haram, hukumnya najis.  Anak harus diperkenalkan mana yang suci dan mana yang najis.

Seksualitas yang sehat, yaitu berkaitan dengan faktor kesehatan.  Bagaimana disunahkan laki-laki untuk ber-khitan, terkait dengan fungsi kesehatannya. Dan itulah salah satu yang diajarkan dalam Islam.

Seksualitas yang lurus, artinya sesuai dengan fitrahnya.  Jangan sampai ada anak laki-laki badannya gempal, berotot, tetapi gayanya seperti orang perempuan (maho, homo). Dompetnya-pun berwarna pink. Dst. 
Tugas orangtua adalah menjaga agar fitrah anak laki-lakinya sebagai anak laki-laki dan anak perempuan sebagai anak perempuan. 
Kali ini yang kita bahas adalah anak laki-laki. 

Berdasarkan Hadits Riwayat Imam Bukhari, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Tidaklah seorang bayi lahir kecuali dalam keadaan fitrah.  Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani  atau  Majusi.
Maka sejatinya sejak bayi  laki-laki punya fitrah yang berbeda dengan perempuan.
Orangtuanya-lah yang menyimpangkan fitrah anak laki-lakinya itu, yang berdasarkan Hadits tersebut fitrah anaknya disimpangkan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.   Dengan kata lain, kalau laki-laki menjadi feminin, kewanita-wanitaan, menjadi gay, sejatinya bukan karena genetik. Dan itu dibantah oleh Allah subhanahau wata’ala.  Mana mungkin Allahsubhanahu wata’ala menciptakan suatu kaum lalu Allah sendiri melaknat. Sangat tidak mungkin.

Bagaimana mungkin Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki kalau itu merupakan fitrah.  Karena kalau sudah fitrah, maka orang tidak bisa menolak. Kalau ada seorang gay atau banci lalu mengatakan : “Saya begini karena memang sudah fitrah saya begini”, itu adalah dusta, bohong. Yang benar adalah karena pengaruh lingkungan. Dan lingkungan paling dekat adalah orangtuanya.

Maka orangtua-lah yang bertugas menjaga fitrahnya itu. Ketika ditanyakan dalam suatu komunitas kaum Gay, kenapa mereka menjadi gay, terbanyak dari mereka menjawab : Sejak kecil tidak punya sosok ayah.  Sejak kecil tidak pernah ada stimulasi ayah. Semua pengasuhan oleh ibunya tidak pernah mengenal ayah.
Hasil pengamatan dan diskusi dengan anak-anak gay : Kalau anak laki-laki itu tidak punya ayah sejak kecil karena ayahnya mati, atau cerai, tetapi tidak punya kebencian terhadap ayah, maka anak laki-laki itu paling-paling gayanya saja seperti perempuan (feminin) saja, tidak sampai menjadi gay.

Misalnya seorang anak laki-laki ayahnya tidak pernah mengurusinya, karena sibuk kerja, atau ayahnya meninggal tidak ada sosok ayah pengganti, paman atau kakeknya tidak ada, ia diurus oleh perempuan (ibunya) saja maka anak laki-laki itu cenderung bergaya feminin. Tetapi ia tetap punya ketertarikan dengan lawan jenis. Hanya gayanya saja tetap feminin, cara bicaranya, cara marahnya, karena selama ini ia hanya menirukan ibunya.

Yang parah adalah kalau seorang anak laki-laki trauma dengan sosok ayah. Bapaknya pulang kerja yang dilakukan hanya marah-marah, bicaranya keras, menampar, menendang, memukul kepada si anak laki-lakinya. Apalagi sering anak itu melihat bapaknya menampar ibunya di depan matanya. Maka anak laki-laki itu akan muncul kebencian dalam jiwanya : Laki-laki itu jahat,  ibuku disakiti, ibuku jadi korban kejahatan ayahnya, dst. Maka akan ter-stigma dalam otak anak laki-laki itu : Aku tidak mau menjadi laki-laki. Lalu lebih cenderung bermain dengan anak perempuan.  Itulah yang menjadi pemicu utama mengapa anak laki-laki menjadi Gay.
Mungkin ada faktor lain, tetapi dari pengamatan dan berkali-kali menangani kasus laki-laki menjadi Gay, umumnya disebabkan oleh hal-hal seperti disebutkan di atas.  Karena rasa trauma dengan ayahnya.   Walaupun akhirnya bapaknya berubah ketika anak laki-lakinya remaja, tetapi sudah terlanjur anak laki-lakinya membenci laki-laki karena masuk ke alam bawah-sadarnya.

Oleh karena itu pendidikan untuk anak laki-laki mutlak harus diasuh oleh sosok laki-laki. Seseorang ingin mendidik anak laki-laki menjadi laki-laki sejati, tetapi dalam kehidupan masa kecilnya tidak ada sosok laki-laki yang mengasuhnya, mana mungkin anak laki-laki itu belajar sebagai laki-laki. Fitrahnya itulah yang menjadi rusak.  

Fitrah adalah sejenis software yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada seorang anak.   Berbeda dengan pemahaman orang Barat yang menyatakan bahwa anak itu ibarat kertas putih, tinggal orangtuanya yang mengisinya. Sedangkan dalam Islam, seorang bayi sudah mempunya program-software, sudah ada fitrahnya, pertama ia (bayi) itu Islam.

Lihat AlQur’an Surat Al A’raaf ayat 172 :

سُوۡرَةُ الاٴعرَاف
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَأَشۡہَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ‌ۖ قَالُواْ بَلَىٰ‌ۛ شَهِدۡنَآ‌ۛ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ إِنَّا ڪُنَّا عَنۡ هَـٰذَا غَـٰفِلِينَ (١٧٢)



Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Seorang bayi (siapapun) masih dalm kandungan ibunya umur 4 bulan sudah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhannya, berarti ia Islam. Itulah fitrahnya.

Laki-laki itu fitrahnya adalah dalam bermacam hal :
1.Jiwa Al Qowam (pemimpin).
Tentu otaknya berbeda dengan anak perempuan.  Maka pendidikan laki-laki berbeda dengan anak perempuan karena Allah subhanahu wata’ala menciptakan-nya berbeda.  
Allah sebutkan dalam AlQur’an Surat Hujurat ayat 13 bahwa hanya ada dua jenis manusia yaitu laki-laki dan perempuan.  Tidak pernah disebutkan adanya manusia berjenisbanci (bencong).  Menuduh bahwa banci itu fitrah, berarti menuduh Allah berkhianat dalam penciptaan-Nya. Jadi tidak ada mansia berjenis Waria, kalau ada, maka itu penyimpangan dari fitrah.

2.Laki-laki punya keunikan/kelebihan dibanding perempuan.
Karena fitrahnya sejak awal berbeda (Lihat AlQur’an Surat An Nisaa’ ayat 34). 
Laki-laki punya kelebihan dibandingkan perempuan. Laki-laki berpikiran singkat, kalau bicara seperlunya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sebagai suami (laki-laki) kalau berkata-kata seperlunya, cukup singkat tetapi merangkum semua hal.  Maka bila orang laki-laki banyak ngomong, panjang sekali ngomongnya, itu karena selama ini ia tidak pernah mendapat stimulan laki-laki pada software-nya. Selama ini diasuh oleh perempuan saja.

Bagiamana kita mendidik anak laki-laki dan permpuan adalah berdasarkan AlQur’an, maka kita belajar dari keluarga yang ada dalam AlQur’an, salah satu jiwa laki-laki adalah Al Qowam (pemimpin) sebagaimana disebutkan di atas. Sebagaimana disebutkan dalam Surat An Nisaa’ ayat 34Bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimpin (Al Qowam) bagi wanita. 

Artinya sejak lahir anak laki-laki oleh Allah subhanahu wata’ala diberikan software :Pemimpin.   Masalahnya software (kepemimpinan) bersesuaian atau tidak dengan hardware(yang diasuhkan).  Ternyata selama ini hardware-nya justru merusak jiwa Qowam-nya (jiwa kepemimpinannya). Sehingga ada orang laki-laki yang jiwa Qowam-nya hilang karena diasuh oleh ayah yang Cuek (tidak peduli) dan ibu yang otoriter.

Padahal yang benar adalah laki-laki (suami) menjadi penguat, penjadi faktor yang menegakkan keluarga.  Sehingga seorang perempuan mendapatkan suami yang Qowam(pemimpin, penegak keluarga) adalah beruntung.  Yang sebelumnya perempuan itu pesimistis, tiba-tiba menjadi orang yang termotivasi oleh suaminya, karena suaminya selalu berkata-kata yang positif.   Yang selama ini perempuan itu tidak punya potensi, karena menikah dengan seorang laki-laki yang punya jiwa kepemimpinan, maka perempuan itu menjadi bintang.  Itulah hebatnya laki-laki yang mempunyai jiwa Al Qowam (Pemimpin), sehingga isterinya bisa tumbuh potensinya.


Maka sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang menempatkan diri beliau dalam keluarganya sebagai Al Qowam (pemimpin keluarga) sehingga isteri beliau ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha menjadi salah seorang ulama.  Hafal banyak Hadits, menjadi guru beberapa ulama laki-laki di zamannya.

Bagaimana pula Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mendidik isteri beliau yang lain yaitu Zainab binti Khuzaimah rodhiyallahu ‘anhuma, disebut juga Ummul Masakin (Ibu orang-orang miskin), karena beliau punya jiwa dermawan, jiwa sosial yang tinggi, sehingga dicap sebagai orang wanita yang punya jiwa sosial tinggi,. Bahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memujinya dalam sebuah Hadits : Khoirukunna man tholayadiha - Sebaik-baik perempuan yang panjang tangannya (senang memberi).  Demikian pula isteri-isteri beliau yang lain menjadi contoh-teladan bagi perempuan-perempuan lain dizaman itu.

Makna “Al Qowam” juga berarti adil dan seimbang. Maka laki-laki dalam Islam dibolehkan poligami karena  punya  jiwa AlQowam (adil-seimbang). Dan bagi laki-laki yang tidak punya jiwa AlQowam jangan sekali-kali ingin menikah lebih dari seorang wanita.  Sebab akhirnya akan menjadi masalah, dan menimbulkan pertengkaran dalam keluarga.

“AlQowam – AlQoyyim”, menurut Imam Abubakar Arrozi dalam Kitab Mukhtar Ash Shiha maknanya adalah Pemimpin (Leader), bukan pengekor.
Maka sejatinya laki-laki adalah AlQowam, untuk menegakkan, menjadikan, membentuk, meningkatkan kemampuan anggota keluarganya, terutama isterinya, misalnya ketika isterinya sedang hamil, ia (suami) membantu dalam pekerjaan-pekerjaan keseharian di rumahtangganya.  Untuk meringankan tugas dalam rumah tangga yang biasanya dikerjakan oleh isterinya. Jangan sampai isterinya yang sedang hamil itu tetap terbebani pekerjaan-pekerjaan rumahtangganya.

Hal-hal yang demikian akan muncul pada jiwa anak-anaknya, apabila anak dalam pengasuhan yang benar. Terutama anak laki-laki yang tidak diasuh dengan benar, bisa-bisa ketika sudah dewasa ia akan sering menyakiti perempuan, jiwanya pengecut, tidak bisa menjadi Leader, cengeng, dst.  Itulah yang sering terjadi.

Maka agar kita bisa mendidik anak laki-laki, belajarlah dari keluarga pendidik laki-laki terbaik.  Dalam AlQur’an Surat Ali Imran ayat 33 Allah subhanahu wata’ala memberikan contoh keluarga :

سُوۡرَةُ آل عِمرَان
۞ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰٓ ءَادَمَ وَنُوحً۬ا وَءَالَ إِبۡرَٲهِيمَ وَءَالَ عِمۡرَٲنَ عَلَى ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٣٣)


  
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing),

Ayat tersebut bila dibahas akan menjadi dalam sekali maknanya, karena ayat tersebut memberikan petunjuk bagaimana pendidikan dalam sebuah keluarga.
Pertama : Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi Adam dan Nabi Nuh tidak memberikan gelar  ‘Ala Adam wa Nuh tetapi kepada Ibrahim dan Imran membarikan gelar ‘Ala Ibrahim wa ‘ala Imran.   Tetapi Allah memuji Adam dan Nuh tetapi bukan keluarganya.

Sejatinya Keluarga Terbaik ada tiga ciri : Punya pasangan, anak dan cucu yang baik. Keluarga Ibrahim dan Keluarga Imran punya pasangan, anak dan keturunan yang baik-baik semua. Sementara Adam dan Nuh tidak dipuji sebagai keluarga yang baik, tetapi dilebihkan sebagai sosok ayah yang baik. Karena anak Adam (Qabil) sebagai pembunuh. Nabi Nuh‘alaihissalam anaknya (Kan’an) menjadi kafir.

Nabi Adam ‘alaihissalam dipuji oleh Allah subhanahu wata’ala, karena meskipun beliau punya kesalahan,  beliau tidak pernah menuding pihak lain. Adam cepat mengakui kesalahannya. Ketika Nabi Adam di keluarkan dari surga dan diturunkan di bumi, terlunta-lunta di muka bumi,  tetapi beliau tetap mengakui kesalahannya sendiri, tidak pernah menyalahkan pihak lain,  misalnya dengan mengatakan : Ini gara-gara iblis maka aku dikeluarkan dari surga. Tidak.

Nabi Adam ‘alaihissalam tidak menyalahkan demikian.  Melainkan mengakui kesalahannya sendiri sebagaimana dalam do’a beliau : Robbana dholamna anfusana wa illam taghfirlana watarhamna lana kunanna minal khosyirin – (Wahai Tuhanku, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang yang merugi).

Sebagai teladan bagi kita, seorang bapak kalau ternyata anaknya bandel,  lalu menyalahkan pihak lain,  gara-gara TV, gara internet, gara-gara gurunya, dsb. Tetapi hendaknya si bapak mawas diri, evaluasi diri terlebih dahulu.  Cepat akui kesalahan diri, tidak usah mencari kambing hitam. Itulah yang terbaik.  Kalau anda ingin seperti kualitas Nabi Adam ‘alaihissalam.

Nabi Nuh ‘alaihissalam, beliau dipuji Allah subhanahu wata’ala karena anak dan isterinya kafir, tetapi Nabi Nuh tidak putus asa dalam berdakwah kepada anak-isteri dan kepada umat beliau. Beliau berdakwah siang-malam, tiada pernah henti.
Maka orangtua yang baik bukan melihat hasilnya, melainkan yang dilihat adalah prosesnya. Kalau orang tua hanya memikirkan hasilnya, maka ia akan berpikir instan. Anaknya yang bandel lalu dipanggilkan dukun,  panggil ahli hipnotis dst,. Si bapaknya lupa bahwa Allahsubhanahu wata’ala meng-hisab prosesnya.

Si bapak melihat anaknya bandel tidak mau sholat, lalu dimasukkan ke pesantren, dst.   Maka pesantren seperti bengkel, memperbaiki anak-anak yang rusak.  Karena orang tuanya angkat tangan. Bahkan marah-marah kepada anaknya, berkata : “Bapak tidak akan mengakui kamu sebagai anak” ! 
Jangan demikian,  ingat, kelak hukumannya seperti Nabi Yunus yang marah kepada umatnya yang tidak mau beriman, lalu beliau meninggalkan umatnya itu. 

Lihat AlQur’an Surat Anbiyaa ayat 87 :

سُوۡرَةُ الاٴنبیَاء
وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَـٰضِبً۬ا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقۡدِرَ عَلَيۡهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَـٰتِ أَن لَّآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَـٰنَكَ إِنِّى ڪُنتُ مِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ (٨٧)



Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia (Yunus) menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim."

Nabi Yunus merasa bahwa kaumnya tidak prospektif, bandel,  tidak mau beriman, diberitahu agar sholat, tetapi tidak mau sholat.  Dilarang berzina, tetapi bahkan berzina berkali-kali, maka Nabi Yunus ‘alaihissalam kesal sekali, marah dan meninggalkan kaumnya, dengan maksud mencari kaum yang lain, yang kira-kira mau mendengarkan dakwahnya.  Maka Allah hukum Nabi Yunus dengan dimasukkan ke dalam perut ikan paus.  Kehidupannya terasa gelap.

Maka jangan sekali-kali seorang bapak marah-marah kepada anak dan keluarganya, lalu meninggalkannya.  Akan mengalami kegelapan hidup.  Usahanya kandas terus, bisnisnya selalu merugi, dst. Maka orangtua jangan sampai putus asa mendidik anak-anak terutama anak laki-laki. Hidayah adalah milik Allah subhanahu wata’ala.  Maka orangtua sebagaimana Rasul Ulul ‘Azmi adalah bekerja saja secara sungguh-sungguh, mendidik  anak dengan benar, sebagaimana Nabi Ibrahim dan keluarga Ali Imran yang sukses mendidik-anak-anaknya.

Catatan :
1.     Ibrahim adalah Nabi, sedangkan Imran bukan Nabi.  Maknanya, meskipun kita bukan Nabi, kita bisa sukses seperti keluarga Imran.
2.     Ibrahim ber-poligami, menurut Imam Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim punya  isteri 4 : Sarah, Hajar, Qondura dari Bani Madyan, dan Hajun binti Amin tinggal diwilayah sekitar Yaman.   Dari empat isteri melahirkan anak 12 orang tetapi ada yang meriwayatkan 13 orang anak.
3.       Ibrahim sukses berpoligami, anak-anak beliau semua menjadi tokoh pada zamannya. Bahkan seluruh nabi-nabi nasab-nya adalah Nabi Ibrahim a.s.  Maka Nabi Ibrahim disebut : Bapak semua nabi.
4.       Nabi Ibrahim adalah keluarga yang berpindah-pindah (Nomaden). Beliau tinggal di Babylonia pindah ke Syam, pindah lagi ke Mesir, lalu ke Hijaz.  Sementara Keluarga Imran, tidak berpindah-pindah menetap di Baitul Maqdis. 
5.       Nabi Ibrahim ‘alaihissalam anaknya laki-laki semua.  Maka mengurus anak laki-laki belajarlah dengan Nabi Ibrahim.  Sedangkan Keluarga Imran anaknya perempuan (Maryam).  

Target Pengasuhan.
Berbeda target antara pengasuhan anak laki-laki dan perempuan, karena pada dasarnya  anak laki-laki secara fitrahnya berbeda (tidak sama) dengan anak perempuan. Maka targetnya-pun berbeda.  Oleh karena itu paham Emansipasi itu merusak. Banyak keluarga rusak karena melaksanakan Eamansipasi yang tidak punya patokan dalam Syari’at.

Oleh karena itu dalam Islam ada patokan cara mendidiknya.  Anak laki-laki berbeda, sebagaimana disebutkan di atas keluarga Ibrahim dengan anak laki-lakinya dan keluarga Imran yang punya anak perempuan.  Keluarga Ibrahim punya tokoh anak laki-laki terbaik, yaitu Ismail dan  Ishaq. Sementara itu keluarga Imran punya tokoh perempuan terbaik, yaitu Maryam.
Ismail dan Ishaq menjadi Nabi sedangkan Maryam yang punya predikat “perempuan suci” tidak menjadi Nabi tetapi mendukung kenabian, yaitu melahirkan Nabi yaitu Nabi ‘Isa‘alaihissalam.

Artinya, khusus untuk anak laki-laki target pengasuhannya adalah mencetak menjadi “nabi”.  Maknanya, anda punya anak laki-laki didiklah menjadi “nabi” atau mendidik “ala nabi”.  Untuk anak perempuan, targetnya adalah : Didiklah ia menjadi “wanita suci”.Menjadi pendukung kenabian. Maka dalam Hadits disebutkan bahwa wanita terbaik ada empat :

1.     Asiyah, isteri Fir’aun. Suaminya tokoh kafir, tetapi ia tetap beriman.
2.     Maryam binti Imran, yang melahirkan Nabi ‘Isa ‘alaiahissalam,
3.     Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam,
4.     Fatimah binti Muhammad, putri Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam

Ternyata keempatnya bukan Nabi, tetapi peran Asiyah (isteri Fir’aun) merupakan faktor pendukung proses kenabian, yaitu mengasuh Musa hingga menjadi Nabi.
Maryam binti Imran, berperan menjadi pendukung kenabian, dari rahimnya lahir seorang Nabi yaitu Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Khadijah binti Khuwailid, suaminya menjadi Nabi dan Rasul, yaitu  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
Fatimah, ayahnya menjadi Nabi, yang menjadi contoh keberhasilan seorang ayah mendidik anak perempuan.

Untuk mencetak anak laki-laki menjadi Nabi, adalah mustahil. Karena kenabian sudah selesai dengan ke-Rasulan Muhammad  shollallahu ‘alaihi wasallam.
Yang kita bahas adalah bagaimana nilai kenabian itu ada pada laki-laki. Yaitu :

1.     Seorang anak laki-laki dicetak menjadi Ahli Ilmu (Ulama). Sebab ulama adalah penerus para Nabi.  Maka bila ingin mencetak anak laki-laki di zaman ini  adalah mencetak menjadi Ulama, yaitu Ahli Ilmu bidang apa saja, bukan hanya bidang agama.   Didiklah anak laki-laki menjadi ahli di bidangnya. Maka Rasulullahshollallahu ‘alaihi wasallam mendidik para sahabat menjadi Ahli. Dalam pengertian ahli adalah seorang pemimpin yang bisa memahami dan memberikan solusi.
2.     Seorang anak menjadi Iqomatuddin,  menegakkan agama (Islam). Didiklah anak laki-laki menjadi penegak Islam.  Orang ahli tetapi tidak punya jiwa pembelaan terhadap Islam, berarti gagal orangtua mendidiknya.

Demikian Bagian Pertama tentang mendidik anak laki-laki, akan dilanjutkan dengan Bagian Kedua pada pertemuan berikutnya, yang intinya mencetak laki-laki menjadi Ahli dan punya jiwa Iqomatuddin (pembelaan terhadap tegaknya Islam).