Jumat, 07 Agustus 2009

TESTIMONI TIDAK PERCAYA DIRI

(Artikel ini sya dapatkan dr sbuah situs jejaring sosial "You Can if You Think You Can" dr membaca artikel ini saya merasa kagum akan arti dr perjuangan hidup)


TESTIMONI TIDAK PERCAYA DIRI

Ini tentang diriku sendiri. Sebenarnya, aku merasa tidak pantas menuliskan ini. Aku bukan siapa-siapa. Tapi, mungkin, siapa tahu dari tulisan ini, ada dari teman yang mendapatkan setitik inspirasi bagi kehidupannya. Namanya juga hidup, tidak ada salahnya kita berbagi.

1// MASA KECIL

Dari kecil, aku orangnya tidak percaya diri. Rumahku sederhana. Di pinggir pantai. Kalau bertemu dengan orang, kadang saya merasa sedih. Saya merasa berada dalam golongan yang biasa-biasa. Rumahku dari papan. Aku inget waktu pertama kali rumah itu dibuat. Pertama kali, tiang-tiang dipancangkan dulu. Setelah itu baru naik satu persatu sampai pemasangan seng. Di bawah rumahku, air pantai. Aku biasa mencari udang di situ, kepiting, atau ikan-ikan kecil. Kalau ingin memancing ikan, aku biasa mencari cacing berwarna merah di bawah rumah. Cacing-cacing itu kukumpulkan dalam kaleng bekas susu. Malam harinya, aku memancing di belakang rumah.

Lahir dari keluarga yang sederhana itu, sebenarnya bukan aib. Tapi itu adalah hikmah yang besar. Tidak semua orang bisa menikmati masa-masa susah. Mungkin di antara orang kota, ada yang saat lahir langsung menikmati indahnya fasilitas. Tapi, bagi kami yang orang desa, perjuangan untuk mencapai cita-cita adalah sesuatu yang harus kita kejar, dimanapun itu berada.

2// MENUJU CITA-CITA

Aku ditawarin oleh orang tuaku. Alhamdulillah, keuangan kami lebih baik waktu itu. Kakakku sebelumnya sudah di Jakarta, sekolah. Awalnya aku merasa ragu. Otakku biasa saja. Tidak terlalu menarik. Tidak terlalu brilian seperti teman-temanku. Aku masih ingat, seorang kawanku bernama Margareta, keturunan Cina. Orangnya pinter. Rumahnya juga di dekat perkantoran. Kulitnya bersih (tapi bukan karena faktor keturunan, memang orangnya bersih dan rapih). Kalau bergaul dengan orang seperti Margareta yang pintar itu, aku kadang merasa risih aja.

Tawaran ke Jakarta itu aku ambil juga. Orang tuaku memang luar biasa. Aku bersyukur mereka telah berjuang keras untuk menyekolahkan anak-anaknya. "Yang penting kita jujur sama orang," demikian nasehat ayah aku yang aku pegang. Dari rumahku, aku berangkat naik kapal Ternate Star. Jarak Tobelo ke Ternate, kurang lebih dua hari. Di kapal aku muntah-muntah. Tapi, semangatku untuk belajar tidak pernah padam. Aku bersyukur punya semangat itu.

3// MOBIL-MOBIL MEWAH

Teman-temanku banyak orang berada. Kalau salah satu indikasi bahwa orang berada adalah mobil, maka aku orang biasa saja. Kadang kalau lihat teman-temanku yang kedatangan orang tuanya di taman, aku merasa sedih sendiri. Aku mikir, "Kapan ya orang tuaku datang?" Teman-temanku biasa dijenguk oleh orang tuanya seminggu sekali. Anak-anak pesantren nyebutnya, "Mudif/Mudip." Namun, aku juga bersyukur punya paman. Pamanku kebetulan orang berada. Kalau beliau mampir ke pondok, kadang aku dibawanya jalan-jalan. Ke Plaza Senayan bertemu relasinya. Atau sekedar makan di rumah makan.

Kadang, sama pamanku juga aku merasa tidak enak. Kalau pulang dari pondok, aku biasa ke rumahnya. Namanya kita menumpang, walau gimana kita tetap harus tahu diri. Aku kadang membersihkan rumah, menyapu, atau sesekali bantu-bantu cuci mobil. Di rumah paman, aku biasa tidur di lantai beralaskan koran. Aku tidur sekamar dengan teman yang berasal dari Halmahera juga. Suatu waktu, aku membeli buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Hamka. Buku itu aku baca sampai tamat di kamar. Aku merasa, senang sekali bisa mengarungi alam pikiran Hamka dalam novel itu. Keinginan menulis? Waktu itu tidak ada sama sekali. Aku hanya suka baca saja, karena kebetulan banyak majalah dan koran di rumah.

4// NASI AYAM YANG SUNGGUH NIKMAT

Aku dapat sebuah hikmah, "Kalau kita benar-benar ikhlas membantu orang, keberkahan akan segera 2kita dapatkan." Waktu itu aku jadi pengurus organisasi santri bagian penerimaan tamu. Kebetulan, tugasku untuk membersihkan ruangan di lantai satu gedung Nusantara. Ada tamu yang datang. Aku persilahkan masuk. Di dalam ibu dan anaknya itu makan dengan lezatnya. Aku langsung ambil sendiri air minum untuk mereka kemudian pergi. Setelah mereka selesai makan, ternyata aku diberikan juga sebungkus nasi. Bagi seorang santri, kalau dapat makanan yang lauknya ayam, apalagi masakan Padang lagi, pasti senangnya bukan main!

Ternyata, kita hanya perlu berbuat baik saja sama orang lain. Kita berikan pelayanan yang baik. Kalau kita diamanahkan, jalankan amanah itu! Kalau kita dipercaya, jangan nodai kepercayaan tersebut! Ketika aku mendapatkan makanan dari ibu yang bermobil itu, aku senang. Dan, senangnya lagi adalah, aku dapat kartu nama dari suaminya. Ternyata, suaminya adalah seorang direktur dari sebuah perusahaan. Kartu itu sampai kini, aku jaga di rumahku sebagai pengingat bahwa nun di masa lampau, aku pernah punya kenalan yang memberikan kartu nama, dan beliau adalah seorang direktur!

5// BUKAN DI NEGERI SERIBU MENARA

Aku sedih juga, tidak lulus untuk kuliah di al-Azhar. Sejak di pesantren, aku memang ingin sekali belajar di Mesir. Sebagai kampus yang tua dan telah melahirkan banyak ulama, ilmuwan, cendekiawan, kita patut belajar dari sana. Menurut salah seorang kenalanku, alumni Universitas Islam Madinah, waktu di Madinah berdiri kampus, dosen-dosennya rata-rata dari al-Azhar. Olehnya itu, aku kepengen banget ke sana.

Sedih karena tidak diterima di kampus yang aku minati. Temanku bilang, "Di, coba UMPTN aja." Akhirnya, aku coba-coba saja. Kalau mau pilih UI, UGM, atau Unpad rasanya berat karena aku memang tidak terlalu minat pada jurusan umum. Dari sini aku sadar, bahwa kalau kita tidak ada persiapan di sebuah bidang, mending pilih bidang dimana kita punya peluang. Aku pilih Makassar, dan diterima di sebuah kampus yang dikenal dengan nama "Kampus Merah". Sebelumnya, aku diterima di kampus IAIN Ciputat, tapi karena teman-temanku udah banyak di situ, aku pengen cari yang baru ah.

Memutuskan antara IAIN dan Unhas termasuk sulit juga. Temanku bilang, "bego lu, ngapain ke Makassar sana. Lu udah di Jakarta juga." Aku diam aja mendengarkan kata temanku di sebuah tempat duduk depan kampus IAIN (sekarang UIN). Aku mikir, mungkin aku memang bego ya, udah enak di kota besar mau ke timur. Tapi, aku memiliki pemikiran lain. Sebuah pesan dalam surat kelulusan yang ditandatangani oleh Ust. Agus Sugianto kurang lebih berbunyi begini, "Kalau ananda bersungguh-sungguh untuk mencapai impian, insya Allah ananda akan dapatkan itu." Dari situ, aku yakin, dimanapun kita berada, kalau kita serius, insya Allah kita bisa.

6// AGAR KAMU KELIHATAN CERDAS DI KELAS

Teman-temanku pintar-pintar. Kalau berbicara, wih, bahasanya tinggi. Aku kadang merasa rendah aja. Tapi, dari mereka aku belajar berbahasa. Aku mencoba jadi murid yang baik di hadapan teman-teman. Memang seharusnya begitu. Kalau kita sudah merasa pintar, susah. Kita sulit untuk menerima sebuah ilmu. Kata-kata dari Haji Rasul (ayahnya Buya Hamka) ini, menarik. Katanya, sebagai seorang pelajar, kita perlu memposisikan diri kita sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Dengan begitu, semangat belajar kita akan terpacu. Memang benar, kalau kita sudah merasa pintar, pasti kita akan gengsi untuk belajar dari orang lain.

Kata guruku, kita perlu CERMIN di kamar. Maka, aku membeli cermin di Pasar Sentral, Makassar. Di kamar aku belajar berbicara. Tiap hari kalau pulang kampus, aku berbicara di cermin. Dari situ juga aku bisa tahu aku itu kayak gimana kalau berbicara. Kita tidak perlu malu untuk belajar. Kalau tiap hari kita biasakan, insya Allah apa yang kita inginkan bisa juga dicapai. Aku teringat waktu ikutan Bimbel yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta. Waktu itu aku sempat berkomentar tentang sebuah masalah. Karena komentarku kesannya menyakinkan, akhirnya teman-teman (banyak cewek sih) pada setuju juga. Mungkin, mereka tidak lihat apakah bener atau tidak isi ucapannya, tapi karena melihat kita yakin maka mereka percaya saja (apalagi kaum hawa).

7// MENIKAH WAKTU KULIAH

Aku normal, maka aku menikah. Sejak umur 17, emang aku udah ingin menikah. Ya, bukan apa-apa, kan ujung-ujungnya, sampai apapun karir kita, tetap kita perlu menikah. Selain itu, menikah juga sunnah nabi. Aku menikah saat masih diamanahkan sebagai koordinator kecamatan pada KKN Antara (Semester Pendek) di Kabupaten Bajeng, Gowa. Setelah menikah, aku merasakan bahwa Allah maha pemberi rezeki, dan kekhawatiran orang-orang yang berkata "mau kasi makan apa istriku", terbantahkan. Aku kadang mikir juga, kenapa lelaki-lelaki pada mikir masalah "kasi makan" itu. Padahal, rizki itu kan sudah ada di sisi Allah, tinggal kita mencarinya. Walau aku pas-pasan, aku beranikan diri juga.

Di tahun-tahun pertama, aku sempat jadi loper koran. Bangun subuh (itu untungnya kalau kita rajin sholat subuh, cepat bangunnya), aku antar koran, ke kampus Unhas naik sepeda, sampai ke perumahan dosen Unhas. Suatu waktu, aku juga pernah jual-jual pulpen dan sejenisnya. Dan, pernah waktu uangku tinggal 50rb, aku ke Panakkukang beli satu bungkus Pop-Mie. Aku minta diantar sama teman ke pelabuhan. Naik di atas kapal saat transit, aku teriak, "Popmieee Popmiee...." hehehe. Kalau kenang ini, aku jadi lucu sendiri: kenapa bisa mau jualan di atas kapal. Dan, ternyata laku juga jualanku. Ada yang beli lebih dari satu. Aku pake kaos yang agak lusuh, pake topi (maunya biar gak dikenali, kadang malu juga sih masak mahasiswa Unhas jualan popmie). Ternyata pembeli itu mengenaliku juga. Dia orang satu kampungku di Halmahera sana. Jadi gak enak juga. Walau hanya satu kali jualan Popmie, tapi aku menikmatinya juga (termasuk belajar bagaimana caranya bisa naik ke kapal saat banyak penumpang turun naik, dan lewat dari pemeriksaan aparat kapal).

Ini pelajaran berharga banget. Ternyata, kalau kita mau usaha, pasti kita bisa. Seorang temanku sering mengutip kata-kata ini, "You Can if You Think You Can". Kamu bisa, kalau kamu pikir bahwa kamu bisa. Mantabbb!! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar